Rabu, 23 November 2011

PULANG


PULANG

Aku tahu abak tak bermaksud jahat, aku yang salah. Mengapa aku tak bisa bertahan agak sedikit lebih lama lagi. Padahal aku telah berjanji pada abak untuk ikut menemui amak di kampung. Kata abak, amak menitipkan aku pada abak karena amak ingin tinggal di kampung saja. Sudah tiga tahun abak tidak bertemu amak, aku malah belum pernah. Tidak pernah ada uang untuk pulang. Walaupun kata abak, amak sudah lama tidur, sejak aku lahir. Meski kami datang pun, amak tetap saja tidak akan bangun. Aku heran mendengarnya. Bagaimana mungkin orang bisa tidur selama itu. Mungkin memang berbeda cara orang tidur di kampung dengan di kota sepertiku ya… Aku bahkan tidak bisa tidur lama. Baru sebentar tertidur, ada saja yang mengusir kami dan menyuruh kami pindah.
Biasanya setiap pagi aku menemani abak bekerja, mengelilingi perumahan orang untuk mencari apa yang bisa kami kais di tempat sampah mereka. Kadang kami nekat masuk ke perumahan mewah jika penjaganya sedang tidak ada. Kami tahu jika ketahuan pasti akan dibentak dan diusir, tapi kami tidak peduli. Kami hanya ingin menikmati indahnya istana mereka dan bermimpi kami bisa memiliki istana seperti itu. Tapi aku tahu kami takkan pernah bisa. Setelah merasa cukup dengan apa yang kami kumpulkan, aku dan abak pergi ke Mang Kumis. Pria berkumis tebal ini biasanya akan memberi uang pada abak setelah abak menguras isi karung goni miliknya dan memberikannya pada Mang Kumis. Jumlah uang yang diterima abak tidak tentu. Tapi aku tidak pernah tahu berapa jumlahnya. Yang aku tahu itu adalah uang, dan dengannya kami bisa makan.
Kadang aku heran melihat abak. Padahal Mang Kumis memberinya banyak lembaran uang, tapi abak malah agak tertunduk. Jika Mang Kumis memberinya lembaran uang yang lebih sedikit, matanya malah berbinar-binar, dan biasanya kami bisa makan dua kali dan agak enak, padahal biasanya hanya sekali, itupun satu berdua.
Tapi pagi ini aku tak bisa ikut abak bekerja. Badanku lemas sekali. Sekujur tubuhku berbintik-bintik merah. Rasanya tidak kuat berjalan. Sudah aku kuat-kuatkan diri, tapi tetap saja tidak kuat. Padahal kata abak sebentar lagi kami akan bertemu amak. Abak ingin mengumpulkan uang agak lebih banyak lagi agar bisa segera pulang. Kata abak, akhirnya abak bisa membeli kertas pembawa pulang yang kata abak namanya tiket. Itu karna kami tidak perlu makan seharian, karna kata abak kita semua puasa, atau tidak makan seharian. Tapi bagiku sama saja, karna biasanyapun begini. Paling kami makan hanya malam hari, satu berdua.
Melihatku lemas, abak menitipkanku di kedai Mak Nuri, wanita baik hati yang terkadang memberi kami makan jika kami sudah dua hari tidak makan. Aku tidur diatas tikar kecil di kedai Mak Nuri yang sempit.
“Minum dulu, Nak,” ujar Mak Nuri sambil memberi segelas air padaku.
“Tidak usah, Mak. Kata abak hari ini kita puasa, tidak boleh makan dan minum. Nanti malam baru boleh.”
“Iya, Mak tahu. Tapi kamu masih kecil dan sedang sakit, kamu tidak wajib puasa. Minumlah, nanti sakitmu tambah parah.”
“Aku tak berani, Mak. Nanti kena marah sama abak. Abak kan sudah melarangku, aku tidak berani melawannya.”
Mak Nuri memandangku dengan mata sendu. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya, tapi dia tidak jadi memberiku minum. Aku lega. Syukurlah, aku tak perlu melawan perintah abak.
Hari hampir gelap. Abak belum juga pulang. Mak Nuri sudah hampir menutup kedainya. Dia tidak tinggal disitu. Dia tinggal di sebuah rumah kardus di pinggir kali. Dia harus segera pulang karena anaknya juga telah menunggu di rumah. Mak Nuri menatapku dengan sayu lagi. Kali ini aku dibaringkannya di luar kedainya. Dia ingin membawaku ke rumahnya tapi aku menolak. Aku takut abak bingung mencariku. Lebih baik aku tetap berada di kedai itu walau gelap mengelilingiku tanpa ampun.
Entah berapa lama aku menunggu di luar kedai Mak Nuri. Ada yang berkelebat di sekitarku. Aku merasa dia mengincarku. Sesaat leherku rasa tercekik. Tak lama lega lagi. Lalu dadaku serasa dihimpit. Sejurus lepas lagi. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Tiba-tiba rasa sakit itu tak tertahankan, lalu sampai ke ubun-ubunku. Aku ingin berteriak tapi suaraku tak bisa keluar. Setelah itu ringan, sangat ringan. Aku bersyukur dengan keadaan ini. Mungkin karena abak meninggalkanku, gantian amak yang menemaniku. Wajah amak yang baru pertama kalinya aku temui, tersenyum teduh di hadapanku.
“Amak…?” tanyaku ragu.
“Iya sayang…. Maafkan amak meninggalkanmu dan abak. Amak tak kuat lagi. Tapi jangan takut, Sayang. Amak sudah bikinkan istana indah untuk kita bertiga disana.”
Aku tersenyum girang. Istana..?? Sungguh tak terbayang olehku. Apakah seperti istana yang pernah aku lihat dengan abak ketika kami nekat masuk ke perumahan mewah orang kaya dulu? Aku berharap begitu. Akhirnya aku segera mengikuti langkah amak yang berjalan di depanku. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin menoleh ke belakang. Di belakangku, aku melihat diriku sedang tidur nyenyak diatas tikar di luar kedai Mak Nuri.
Bagaimana ini..? Aku bingung. Sedang dimana aku sebenarnya? Tapi amak segera menarik tanganku dan memalingkan wajahku agar tidak menengok lagi ke belakang.
Tak berapa lama kemudian aku melihat abak menangis tersedu-sedu, mengangkat tubuhku yang kaku terbaring diatas tikar di luar kedai Mak Nuri. Aku melihat Mak Nuri sedang berbicara pada ayah dengan mata yang sama basahnya. Sekilas aku mendengar pembicaraan mereka.
“Mengapa kau tinggalkan dia disini, Nuri?”
“Maafkan aku, Amin. Dia bersikeras tidak mau aku bawa ke rumahku. Anak itu keras sekali… Aku suruh minum juga tidak mau. Katanya kau larang. Tak boleh makan, tak boleh minum. Dia takut melanggar perintahmu…”
“Bagaimana aku membawanya pulang…? Tiket sudah di tangan, aku harus berangkat malam ini, tak mungkin aku kembalikan, nanti uangku hilang…”
“Kau harus kuburkan dia dulu disini.”
“Tak mungkin, aku tak punya uang. Biayanya mahal sekali…”
Setelah itu aku tak mendengar pembicaraan apa-apa lagi. Yang ku tahu abak menggendongku ke sebuah tempat yang tampak kotor dan bertumpuk. Aku ingat abak pernah membawaku kesana. Katanya itu namanya gudang, tapi entah gudang apa. Abak membaringkanku di lantai. Beberapa kali abak masih sesunggukan dan termenung, entah apa yang dia pikirkan. Lalu dia meninggalkan jasadku.
Tak lama kemudian, abak datang lagi dengan karung goni kosong dan sebuah pisau besar yang sering dipakai Pak Lik Bogel yang sering dipanggil Jagal. Abak memotong-motongku dan sambil beruraian air mata dan memasukkan potongan tubuhku ke dalam karung. Aku bingung melihat yang dilakukan abak.
Lalu abak pergi ke terminal. Karung goni itu dimasukkannya ke dalam sebuah tas pinjamannya dari Mak Nuri. Tas itu hanya berisi karung goni itu. Abak masuk ke dalam bus. Dia bertumpuk-tumpuk dengan penumpang lain. Pandangan kosong menatap entah kemana. Tas berisi goni diletakkan di dalam bagasi di belakang bus. Aku ingin bicara pada abak. Banyak yang ingin aku tanyakan, tapi aku tidak bisa. Mengapa abak tidak bisa melihatku…?
UNSUR INTRINSIKNYA :
Tema :
Ketegaran dalam menghadapi kehidupan
Amanat :
Meskipun kita tidak memiliki banyak uang. Tetapi, kita harus harus tetap bersyukur dan sabar dalam menghadapi segala cobaan yang di berikan oleh Allah SWT
Penokohan :
Aku : Lugu, Patuh pada perintah orang tua dan belum mengerti banyak hal
Abak : Pekerja Keras, Penyabar, Baik hati, Kadangkala suka marah
Amak : Baik hati
Mak Nuri : Tabah, Baik hati, dan suka menolong sesama

Alur :
Maju
Setting :
Tempat : Di kota besar
Waktu : Ketika aku dan abak ingin pulang ke kampung
Suasana : Penuh dengan kesabaran dan keharuan
Sudut Pandang :
Sudut Pandang orang ke-1


UNSUR EKSTRINSIKNYA :
Kebiasaan :
Kebiasaan yang berada di kota, orang-orang yang ekonominya kurang mampu atau miskin lebih sering ditindas. Tidak sedikit dari orang-orang yang sudah kaya raya meremehkan orang-orang yang miskin. Seperti, pesuruh, gelandangan atau peminta-minta. Itulah kebisaan yang ada di kota. Padahal Allah tidak membeda-bedakan mana yang kaya dan miskin semuanya sama.
Kejiwaan Pengarang :
Pengarang cerpen ini sifatnya sederhana. Memiliki rasa peduli yang tinggi kepada orang-orang yang kurang mampu. Sehingga, ia juga dapat mendalami apa yang dirasakan oleh orang yang kurang mampu itu. Seperti, bersifat sabar dalam menghadapi cobaan dan pekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi

0 komentar:

Posting Komentar