Rabu, 23 November 2011

BATU GOLOG


BATU GOLOG
Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara Barat hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.
Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.
Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”
Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.
Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.
Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar. Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.
Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.
 UNSUR INTRINSIK :

Tema :
Kecerobohan yang membawa bencana

Amanat :
Apabila kita sedang bekerja dan pada saat itu kita membawa anak. Janganlah terlalu serius dengan pekerjaan. Sesekali lihatlah keadaan anak kita. Jangan sampai kita menyesal pada akhirnya

Penokohan :
Inaq Lembain : Ceroboh, Pekerja Keras, Baik hati, Penyabar
Amaq Lembain : Pekerja Keras
Kedua Anak : Terlalu panik, Patuh pada perintah


Alur :
Maju

Setting :
Tempat : Di daerah Padamara, Nusa Tenggara Barat
Waktu : siang hari pada saat menumbuk padi
Suasana : menyesal dan bersedih

Sudut Pandang :
Sudut Pandang orang ke-2

UNSUR EKSTRINSIK :

Kebiasaan :
Kebisaan di sana , jika orang tua bekerja anak-anak pun ikut mereka bekerja walaupun tidak sepenuhnya membantu mereka.

Kejiwaan Pengarang :
Pengarang memberi pesan kepada pembaca. Supaya pembaca dapat mengambil hikmah dari cerita tersebut. Salah satu pesannya adalah tentang penyesalan karena suatu kecerobohan seorang ibu dalam menjaga anak-anaknya. 


PULANG


PULANG

Aku tahu abak tak bermaksud jahat, aku yang salah. Mengapa aku tak bisa bertahan agak sedikit lebih lama lagi. Padahal aku telah berjanji pada abak untuk ikut menemui amak di kampung. Kata abak, amak menitipkan aku pada abak karena amak ingin tinggal di kampung saja. Sudah tiga tahun abak tidak bertemu amak, aku malah belum pernah. Tidak pernah ada uang untuk pulang. Walaupun kata abak, amak sudah lama tidur, sejak aku lahir. Meski kami datang pun, amak tetap saja tidak akan bangun. Aku heran mendengarnya. Bagaimana mungkin orang bisa tidur selama itu. Mungkin memang berbeda cara orang tidur di kampung dengan di kota sepertiku ya… Aku bahkan tidak bisa tidur lama. Baru sebentar tertidur, ada saja yang mengusir kami dan menyuruh kami pindah.
Biasanya setiap pagi aku menemani abak bekerja, mengelilingi perumahan orang untuk mencari apa yang bisa kami kais di tempat sampah mereka. Kadang kami nekat masuk ke perumahan mewah jika penjaganya sedang tidak ada. Kami tahu jika ketahuan pasti akan dibentak dan diusir, tapi kami tidak peduli. Kami hanya ingin menikmati indahnya istana mereka dan bermimpi kami bisa memiliki istana seperti itu. Tapi aku tahu kami takkan pernah bisa. Setelah merasa cukup dengan apa yang kami kumpulkan, aku dan abak pergi ke Mang Kumis. Pria berkumis tebal ini biasanya akan memberi uang pada abak setelah abak menguras isi karung goni miliknya dan memberikannya pada Mang Kumis. Jumlah uang yang diterima abak tidak tentu. Tapi aku tidak pernah tahu berapa jumlahnya. Yang aku tahu itu adalah uang, dan dengannya kami bisa makan.
Kadang aku heran melihat abak. Padahal Mang Kumis memberinya banyak lembaran uang, tapi abak malah agak tertunduk. Jika Mang Kumis memberinya lembaran uang yang lebih sedikit, matanya malah berbinar-binar, dan biasanya kami bisa makan dua kali dan agak enak, padahal biasanya hanya sekali, itupun satu berdua.
Tapi pagi ini aku tak bisa ikut abak bekerja. Badanku lemas sekali. Sekujur tubuhku berbintik-bintik merah. Rasanya tidak kuat berjalan. Sudah aku kuat-kuatkan diri, tapi tetap saja tidak kuat. Padahal kata abak sebentar lagi kami akan bertemu amak. Abak ingin mengumpulkan uang agak lebih banyak lagi agar bisa segera pulang. Kata abak, akhirnya abak bisa membeli kertas pembawa pulang yang kata abak namanya tiket. Itu karna kami tidak perlu makan seharian, karna kata abak kita semua puasa, atau tidak makan seharian. Tapi bagiku sama saja, karna biasanyapun begini. Paling kami makan hanya malam hari, satu berdua.
Melihatku lemas, abak menitipkanku di kedai Mak Nuri, wanita baik hati yang terkadang memberi kami makan jika kami sudah dua hari tidak makan. Aku tidur diatas tikar kecil di kedai Mak Nuri yang sempit.
“Minum dulu, Nak,” ujar Mak Nuri sambil memberi segelas air padaku.
“Tidak usah, Mak. Kata abak hari ini kita puasa, tidak boleh makan dan minum. Nanti malam baru boleh.”
“Iya, Mak tahu. Tapi kamu masih kecil dan sedang sakit, kamu tidak wajib puasa. Minumlah, nanti sakitmu tambah parah.”
“Aku tak berani, Mak. Nanti kena marah sama abak. Abak kan sudah melarangku, aku tidak berani melawannya.”
Mak Nuri memandangku dengan mata sendu. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya, tapi dia tidak jadi memberiku minum. Aku lega. Syukurlah, aku tak perlu melawan perintah abak.
Hari hampir gelap. Abak belum juga pulang. Mak Nuri sudah hampir menutup kedainya. Dia tidak tinggal disitu. Dia tinggal di sebuah rumah kardus di pinggir kali. Dia harus segera pulang karena anaknya juga telah menunggu di rumah. Mak Nuri menatapku dengan sayu lagi. Kali ini aku dibaringkannya di luar kedainya. Dia ingin membawaku ke rumahnya tapi aku menolak. Aku takut abak bingung mencariku. Lebih baik aku tetap berada di kedai itu walau gelap mengelilingiku tanpa ampun.
Entah berapa lama aku menunggu di luar kedai Mak Nuri. Ada yang berkelebat di sekitarku. Aku merasa dia mengincarku. Sesaat leherku rasa tercekik. Tak lama lega lagi. Lalu dadaku serasa dihimpit. Sejurus lepas lagi. Aku tak tahu apa yang terjadi padaku. Tiba-tiba rasa sakit itu tak tertahankan, lalu sampai ke ubun-ubunku. Aku ingin berteriak tapi suaraku tak bisa keluar. Setelah itu ringan, sangat ringan. Aku bersyukur dengan keadaan ini. Mungkin karena abak meninggalkanku, gantian amak yang menemaniku. Wajah amak yang baru pertama kalinya aku temui, tersenyum teduh di hadapanku.
“Amak…?” tanyaku ragu.
“Iya sayang…. Maafkan amak meninggalkanmu dan abak. Amak tak kuat lagi. Tapi jangan takut, Sayang. Amak sudah bikinkan istana indah untuk kita bertiga disana.”
Aku tersenyum girang. Istana..?? Sungguh tak terbayang olehku. Apakah seperti istana yang pernah aku lihat dengan abak ketika kami nekat masuk ke perumahan mewah orang kaya dulu? Aku berharap begitu. Akhirnya aku segera mengikuti langkah amak yang berjalan di depanku. Entah mengapa tiba-tiba aku ingin menoleh ke belakang. Di belakangku, aku melihat diriku sedang tidur nyenyak diatas tikar di luar kedai Mak Nuri.
Bagaimana ini..? Aku bingung. Sedang dimana aku sebenarnya? Tapi amak segera menarik tanganku dan memalingkan wajahku agar tidak menengok lagi ke belakang.
Tak berapa lama kemudian aku melihat abak menangis tersedu-sedu, mengangkat tubuhku yang kaku terbaring diatas tikar di luar kedai Mak Nuri. Aku melihat Mak Nuri sedang berbicara pada ayah dengan mata yang sama basahnya. Sekilas aku mendengar pembicaraan mereka.
“Mengapa kau tinggalkan dia disini, Nuri?”
“Maafkan aku, Amin. Dia bersikeras tidak mau aku bawa ke rumahku. Anak itu keras sekali… Aku suruh minum juga tidak mau. Katanya kau larang. Tak boleh makan, tak boleh minum. Dia takut melanggar perintahmu…”
“Bagaimana aku membawanya pulang…? Tiket sudah di tangan, aku harus berangkat malam ini, tak mungkin aku kembalikan, nanti uangku hilang…”
“Kau harus kuburkan dia dulu disini.”
“Tak mungkin, aku tak punya uang. Biayanya mahal sekali…”
Setelah itu aku tak mendengar pembicaraan apa-apa lagi. Yang ku tahu abak menggendongku ke sebuah tempat yang tampak kotor dan bertumpuk. Aku ingat abak pernah membawaku kesana. Katanya itu namanya gudang, tapi entah gudang apa. Abak membaringkanku di lantai. Beberapa kali abak masih sesunggukan dan termenung, entah apa yang dia pikirkan. Lalu dia meninggalkan jasadku.
Tak lama kemudian, abak datang lagi dengan karung goni kosong dan sebuah pisau besar yang sering dipakai Pak Lik Bogel yang sering dipanggil Jagal. Abak memotong-motongku dan sambil beruraian air mata dan memasukkan potongan tubuhku ke dalam karung. Aku bingung melihat yang dilakukan abak.
Lalu abak pergi ke terminal. Karung goni itu dimasukkannya ke dalam sebuah tas pinjamannya dari Mak Nuri. Tas itu hanya berisi karung goni itu. Abak masuk ke dalam bus. Dia bertumpuk-tumpuk dengan penumpang lain. Pandangan kosong menatap entah kemana. Tas berisi goni diletakkan di dalam bagasi di belakang bus. Aku ingin bicara pada abak. Banyak yang ingin aku tanyakan, tapi aku tidak bisa. Mengapa abak tidak bisa melihatku…?
UNSUR INTRINSIKNYA :
Tema :
Ketegaran dalam menghadapi kehidupan
Amanat :
Meskipun kita tidak memiliki banyak uang. Tetapi, kita harus harus tetap bersyukur dan sabar dalam menghadapi segala cobaan yang di berikan oleh Allah SWT
Penokohan :
Aku : Lugu, Patuh pada perintah orang tua dan belum mengerti banyak hal
Abak : Pekerja Keras, Penyabar, Baik hati, Kadangkala suka marah
Amak : Baik hati
Mak Nuri : Tabah, Baik hati, dan suka menolong sesama

Alur :
Maju
Setting :
Tempat : Di kota besar
Waktu : Ketika aku dan abak ingin pulang ke kampung
Suasana : Penuh dengan kesabaran dan keharuan
Sudut Pandang :
Sudut Pandang orang ke-1


UNSUR EKSTRINSIKNYA :
Kebiasaan :
Kebiasaan yang berada di kota, orang-orang yang ekonominya kurang mampu atau miskin lebih sering ditindas. Tidak sedikit dari orang-orang yang sudah kaya raya meremehkan orang-orang yang miskin. Seperti, pesuruh, gelandangan atau peminta-minta. Itulah kebisaan yang ada di kota. Padahal Allah tidak membeda-bedakan mana yang kaya dan miskin semuanya sama.
Kejiwaan Pengarang :
Pengarang cerpen ini sifatnya sederhana. Memiliki rasa peduli yang tinggi kepada orang-orang yang kurang mampu. Sehingga, ia juga dapat mendalami apa yang dirasakan oleh orang yang kurang mampu itu. Seperti, bersifat sabar dalam menghadapi cobaan dan pekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi


Pagi itu, aku terbangun dengan mata yang sembab dan membengkak. Semalam aku menangis di kamar sampai ketiduran. Entah berapa lama aku berderai air mata. Yah, aku baru saja mengalami kejadian yang membuat aku begitu sakit. Seorang cowok yang tanpa sengaja masuk dalam kehidupanku kini malah menghancurkan semuanya......
Aku mengenal Dimas dari Santi,teman dekatku. Kebetulan tiap malem Dimas latihan silat di samping ponpes tempat ku mengaji kala malam hari. Awalnya aku biasa aja dengan kehadirannya. Ga ngefek sama sekali. Tapi hari-hari berikutnya Dimas memulai kedekatan kami dengan sekedar menitip salam padaku. Ga ada yang spesial memang. Tapi hari-hari ku kini mulai terasa indah dengan keberadaanya.
Hanya saja kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Disaat aku mulai menyukainya, tak ku sangka Dimas malah nembak Santi. Aku bener-bener ga tau harus berbuat apa. Tentu saja aku tak bisa menyalahkannya karna ini memang hak mereka. Aku mencoba  ikhlas dengan hubungan mereka. Aku berusaha tegar dan mendukung hubungan mereka meski sebenarnya hati ku begitu sakit. Itu semua aku lakukan karna aku masih menghargai Santi sebagai shbat ku. Aku memilih mengalah daripada harus kehilangan sahabat ku hanya karna seorang cowok. Meski hati kecil ku masih tetap mengharapkan Dimas.
Meski pacaran ama Santi,tapi nyatanya tetep aja Dimas ga pernah absent menghubungi ku. Entah sms atau pun telpon. Aku bingung harus bersikap gimana. Karna rasa ikhlas ku lah yang kini menuntunku untuk tetap berhubungan dengan dimas. Jujur saat itu aku benar-benar  telah merelakan Dimas.
Jadi apa salahnya jika aku menerima telpon dan smsnya. Sayangnya pikiranku masih terlalu cetek untuk menyikapi hal itu.  Tentu saja kedekatanku dengan Dimas yang telah ku anggap “teman” itu membuat Santi cemburu. Ia mengira Dimas selingkuh. Dan aku lah selingkuhannya! Kini antara Aku dan Santi serasa ada pemisah yang membuat kami tak lagi bisa seakrab dulu. Ada rasa canggung saat kami ngobrol,seperti orang yang baru kenal.
Hampir  2 tahun lamanya aku tak pernah bertemu lagi dengan Dimas sejak saat itu. Ia tak pernah lagi menghubungiku,atapun Santi. Dimas seperti menghilang di telan bumi. Akupun perlahan bisa menghapusnya dari ingatan ku dan Santi juga telah kembali seperti sedia kala,meski sekarang ia agak tertutup soal cowok.
Kini hari-hari ku semakin berwarna setelah berhasil lolos seleksi dan masuk di SMK favorit di kota ku. Yah,menjadi anak baru tentunya bukan hal yang gampang. Karna aku termasuk anak yang sulit beradaptasi. Aku terlalu cuek dengan apa yang ada di sekitar ku. Namun kini aku telah memiliki beberapa teman akrab.
Tapi hanya satu yang kurasa telah benar-benar akrab. Namanya Putri. Dia temen sebangku ku. Anak nya cukup asyik, meski terkadang ada saat-saat dimana  aku merasa muak padannya. Ada bberapa sifatnya yang tak ku suka. Dia terlalu pede dan kalo ngomong ato ngpapa’’in asal jeplak aja!uukh..yang paling bikin aku sebel saat bersamanya, ngeliat cowok ganteng dikit aja langsung dah tuh kaya ikan kena pancingan. Klepek-klepek ga jelas! Mending kalo di niatinama satu cowok. Nah ini.. tiap ada cowok selaluu aja tingkahnya gtu. Bikin aku tambah mual. Tapi mo diapain juga dia tetep temen terbaik ku(untuk saat ini).
Entah mimpi apa yang ku dapat semalem, pagi itu aku shock setengah mati denger cerita putri soal cowok barunya. Cowok itu... Dimas!! Dimas yang ku kenal bberpa tahun lalu. Yang telah hilang dari kehidupanku setelah menorehkan luka di hati ku. Aku tak habis pikir! Aku memang telah mengenalkan putri pada temen ku yang posisinya juga sbg temen deketnya Dimas.  Tapi aku ga pernah mikir semua ini bakal salah alamat. 
Justru Dimas lah yang kini berpacaran dengan putri. Oh god!! Semoga waktu sedang bercanda..! aku ga mau kejadian itu terulang kembali. Aku takkan sanggup jika harus mengulangnya. Berpura-pura tegar seperti dulu. Aku muak!! Tapi kenyataanya kini,mereka memang pacaran. Tak ada yang bisa ku lakukan selain merelakan mereka. Sama seperti yang ku lakukan dulu. DEMI SAHABAT,!!


UNSUR INTRINSIKNYA :


Tema : Kerelaan hati

Amanat :
Persahabatan itu segalanya , janganlah menghancurkan persahabatan gara gara masalah sepele

Penokohan :
-          Dimas : tak berperasaan
-          Santi : tak peduli akan keadaan
-          Putri : ganjen ,
-          Aku : penyabar dan baik
Alur :
Maju
Setting :
-          Tempat : sekolah
-          Waktu : siang
Suasana : resah dan bimbang
Sudut Pandang :
Sudut Pandang orang ke-1

UNSUR EKSTRINSIKNYA :

Kebiasaan :
Menyukai persahabatan
Kejiwaan Pengarang :
Pengarang merasakan sakit hati yang mendalam









Kucing Kehujanan


Kucing kehujanan

Sepasang suami‑istri Amerika singgah di hotel itu. Mereka tidak mengenal orang‑orang yang lalu‑lalang dan berpapasan sepanjang tangga yang mereka lewati pulang‑pergi ke kamar mereka. Kamar mereka terletak di lantai kedua menghadap laut. Juga menghadap ke taman rakyat dan monumen perang. Ada pohon palm besar‑besar dan pepohonan hijau lainnya di taman rakyat itu. Dalam cuaca yang baik biasanya ada seorang pelukis bersama papan lukisnya. Para pelukis menyukai pepohonan palm itu dan warna‑warna cerah dari hotel‑hotel yang menghadap ke taman‑taman dan laut.
Di depan monumen perang tampak iring‑iringan wisata­wan Italia membentuk barisan membujur untuk menyaksikan monumen itu. Monumen yang tampak kemerahan dan berkilauan di bawah guyuran hujan. Saat itu sedang hujan. Air hujan menetes dari pohon‑pohon palm tadi. Air berkumpul memben­tuk genangan di jalan berkerikil. Ombak bergulung‑gulung membuat garis panjang dan memecah di tepi pantai. Beberapa sepeda motor keluar dari halaman monumen. Di seberang halaman, pada pintu  masuk sebuah kedai minum, berdiri seorang pelayan memandang ke halaman yang kini kosong.
Si istri Amerika tadi berdiri di depan jendela memandang keluar. Di sebelah kanan luar jendela mereka ada seekor kucing yang sedang meringkuk di bawah tetesan air yang jatuh dari sebuah meja hijau. Kucing tadi berusaha menggulung tubuhnya rapat‑rapat agar tidak ketetesan air.
“Aku akan turun ke bawah dan mengambil kucing itu,” ujar si istri.
“Biar aku yang melakukannya untukmu,” kata  suaminya  dari tempat tidur.
“Tidak, biar aku saja yang mengambilnya. Kucing malang itu berusaha mengeringkan tubuhnya di bawah sebuah meja.”
Si suami meneruskan bacaannya sambil berbaring bertelekan di atas dua buah bantal pada kaki ranjang.
“Jangan berbasah‑basah,” ia memperingatkan.
Si istri turun ke bawah dan si pemilik hotel segera berdiri memberi hormat kepadanya begitu wanita tadi mele­wati kantornya. Mejanya terletak jauh di ujung kantor. Ia seorang laki‑laki tua dan sangat tinggi.
“Il piove,” ujar si istri. Ia menyukai pemilik hotel itu.
“Si, si, Signora, brutto tempo. Cuaca sangat buruk.”
Ia berdiri di belakang mejanya yang jauh di ujung ruangan suram itu. Si istri menyukai pria itu. Ia suka caranya dalam memberi perhatian kepada para tamu. Ia suka pada penampilan dan sikapnya. Ia suka cara pria tadi dalam melayaninya. Ia suka bagaimana pria itu menetapi profesi­nya sebagai seorang pemilik hotel. Ia pun menyukai ketuaannya, wajahnya yang keras, dan kedua belah tangannya yang besar‑besar.
Dengan memendam perasaan suka kepada pria itu di dalam hatinya, si  istri membuka pintu dan menengok ke­luar. Saat itu hujan semakin deras. Seorang laki‑laki yang memakai mantel karet tanpa lengan menyeberang melewati halaman kosong tadi menuju ke kedai minum. Kucing itu mestinya ada di sebelah kanan. Mungkin binatang tadi berjalan di bawah atap‑atap. Ketika si istri masih termangu di pintu masuk sebuah payung terbuka di belakangnya. Ternyata orang itu adalah pelayan wanita yang mengurusi kamar mereka.
“Anda jangan berbasah‑basah,” wanita itu tersenyum, berbicara dalam bahasa Itali. Tentu pemilik hotel tadi yang menyuruhnya.
Bersama pelayan wanita yang memayunginya si istri berjalan menyusuri jalan berkerikil sampai akhirnya ia berada di bawah jendela kamar mereka. Meja itu terletak di sana, tercuci hijau cerah oleh air hujan, tapi kucing tadi sudah lenyap. Tiba‑tiba ia merasa kecewa. Si pelayan wanita memandanginya.
“Ha perduto qualque cosa, Signora?”
“Tadi ada seekor kucing,” jawab si istri.
“Seekor kucing?”
“Si, il gatto.”
“Seekor kucing?” Pelayan wanita tadi tertawa. “Seekor kucing di bawah guyuran hujan?”
“Ya,” jawabnya, “di bawah meja itu”. Lalu, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki seekor kucing.”
Ketika ia berbicara dalam bahasa Inggris wajah si pelayan menegang.
“Mari, signora,” katanya. “Kita harus segera kembali ke dalam. Anda akan basah nanti.”
“Mungkin juga,” jawab wanita Amerika itu.
Mereka kembali melewati jalan berkerikil dan masuk melalui pintu. Si pelayan berdiri di luar untuk menutup payung. Begitu si istri lewat di depan kantor, pemilik hotel memberi hormat dari mejanya. Ada semacam perasaan sangat kecil dalam diri wanita itu. Pria tadi membuatnya menjadi sangat kecil dan pada saat yang sama juga membuat­nya merasa menjadi sangat penting. Untuk saat itu si istri merasakan bahwa seolah‑olah dirinya menjadi begitu pentingnya. Ia menaiki tangga. Lalu membuka pintu kamar. George masih asyik membaca di atas ranjang.
“Apakah kau dapatkan kucing itu?” tanyanya sambil meletakkan buku.
“Ia lenyap.”
“Kira‑kira tahu kemana perginya?” tanya si suami sambil memejamkan mata.
Si istri duduk di atas ranjang.
“Aku sangat menginginkannya,” ujarnya. “Aku tidak tahu mengapa aku begitu menginginkannya. Aku ingin kucing malang itu. Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan kehujanan di luar sana.”
George meneruskan membaca.
Si istri beranjak dan duduk di muka cermin pada meja hias, memandangi dirinya dengan sebuah cermin lain di tangannya. Ia menelusuri raut wajahnya, dari satu bagian ke bagian lain. Kemudian ia menelusuri kepala bagian belakang sampai ke lehernya.
“Menurutmu bagaimana kalau rambutku dibiarkan pan­jang?” tanyanya sambil menelusuri raut wajahnya kembali.
George mendongak dan memandang kuduk istrinya dari belakang, rambutnya terpotong pendek seperti laki‑laki.
“Aku suka seperti itu.”
“Aku sudah bosan begini,” kata si istri. “Aku  bosan kelihatan seperti laki‑laki.”
George menaikkan tubuhnya. Ia terus memandangi istrinya semenjak wanita itu mulai berbicara tadi.
“Kau cantik dan bertambah manis,” pujinya. Si istri meletakkan  cermin kecil dari tangannya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar. Hari mulai gelap.
“Aku ingin rambutku tebal dan panjang agar bisa dikepang,” katanya. “Aku ingin seekor kucing duduk dalam pangkuanku dan mengeong waktu kubelai.”
“Yeah?” komentar George dari ranjangnya.
“Dan aku ingin makan di atas meja dengan piring perakku sendiri dan ada lilin‑lilin. Kemudian aku ingin mengurai rambutku lalu menyisirnya di muka cermin, dan aku ingin seekor kucing, dan aku ingin baju‑baju baru.”
“Ah, sudahlah. Ambillah bacaan,” tukas George. Lalu ia meneruskan membaca lagi.
Istrinya memandang keluar lewat jendela. Semakin gelap sekarang dan dari pohon‑pohon palm masih jatuh tete­san‑tetesan air.
“Baiklah, aku ingin seekor kucing,” ujar istrinya, “aku ingin seekor kucing. Saat ini aku ingin seekor kucing. Seandainya aku tidak bisa memiliki rambut yang pan­jang atau kesenangan lainnya, aku punya seekor kucing.”
George tak peduli. Ia membaca bukunya. Si istri memandang keluar lewat jendela di mana lampu telah menyala di halaman.
Seseorang mengetuk pintu.
“Avanti,” kata George. Ia mendongak.
Di pintu masuk berdiri seorang pelayan wanita. Ia membawa sebuah boneka kucing dari kulit  kura‑kura darat dan menyerahkannya ke depan.
“Permisi,” sapanya, “pemilik hotel ini mengutus saya menyerahkan boneka ini kepada Nyonya.”


UNSUR INTRINSIK  :
Tema :
Keinginan yang terlalu memaksa
Amanat :
Jangan terlalu mengikuti nafsu dalam diri kita , karena hal itu merugikan.
Penokohan :
-          Istri : baik , egois , pemaksa
-          Suami : acuh tak acuh
-          Pemilik hotel :baik dan perhatian
-          Pelayan hotel : baik dan pengertian
Alur :
Maju
Setting :
-          Tempat :  hotel di italia
-          Waktu : pada saat musim penghujan di itali
- Suasana : resah dan bimbang
Sudut Pandang :
Sudut Pandang orang ke-2
EKSTRINSIK :
Kebiasaan :
kepedulian orang itali yang menghormati tamunya
Kejiwaan Pengarang :
Pengarang menghargai kehidupan 






Sabtu, 05 November 2011

Sri Mulyani Indrawati







Sri Mulyani Indrawati lahir di Bandar Lampung, Lampung, 26 Agustus1962 adalah wanita sekaligus orang Indonesia pertama yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Jabatan ini diembannya mulai 1 Juni 2010. Sebelumnya, dia menjabat Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu. Begitu, dia berkantor di Kantor Bank Dunia, dia praktis meninggalkan jabatannya sebagai menteri keuangan. Sebelum menjabat menteri keuangan, dia menjabat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dari Kabinet Indonesia Bersatu. Sri Mulyani sebelumnya dikenal sebagai seorang pengamat ekonomi di Indonesia. Ia menjabat Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI) sejak Juni 1998. Pada 5 Desember 2005, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan perombakan kabinet, Sri Mulyani dipindahkan menjadi Menteri Keuangan menggantikan Jusuf Anwar. Sejak tahun 2008, ia menjabat Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, setelah Menko Perekonomian Dr. Boediono dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia.


Ia dinobatkan sebagai Menteri Keuangan terbaik Asia untuk tahun 2006 oleh Emerging Markets pada 18 September 2006 di sela Sidang Tahunan Bank Dunia dan IMF di Singapura. Ia juga terpilih sebagai wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia versi majalah Forbes tahun 2008 dan wanita paling berpengaruh ke-2 di Indonesia versi majalah Globe Asia bulan Oktober 2007.



dia inspirasi ku, dan aku ingin suatu saat nanti bisa seperti ibu sri ini *-* ..



Paragraf Deduktif

          Halaman depan kelas XI IPS 1 terlihat kurang bersih. (umum) Karena di halaman tersebut masih terdapat sampah-sampah daun kering yang tersangkut di tanaman. Tidak hanya itu, tanaman terlihat layu, tanahnya pun terlihat kering. Rupanya halaman itu kurang terawat oleh murid-murid XI IPS 1. Seharusnya mereka merawatnya setiap hari dengan menyiram dan menyapunya. (khusus)

Pragraf Induktif

            Dalam kesehariannya pun tanaman yang berada di depan kelas XI IPS 1 jarang sekali disiram, sehingga terlihat layu. Tempat sampah yang berada di depan kelas juga terlihat penuh sekali dengan sampah-sampah, pembuangannya juga tidak beraturan. Tempat sampah organik dan anorganik meraka anggap sama. Seharusnya, mereka memperhatikan hal-hal tersebut. (khusus) Karena, jika tanaman layu dan sampah-sampah menumpuk, kita sendiri yang akan merasakan kerugiannya. Oleh karena itu, mari kita jaga lingkungan kelas kita. (umum)

Rabu, 02 November 2011

Purple Unique Bags

for me ​​this bag is very unique. because this bag gift from my grandmother when she was carrying out umroh . enjoyy ^-^




hehehehe


accessories

HIKAYAT OH HIKAYAT


Hai teman nih buat kalian yang kesusahan cari tugas tentang HIKAYAT, na kasih judul + linknya :D enjoy yay ...



* Hikayat Si Miskin - klik ini 

* Hikayat Hang Tuah - klik ini

* Hikayat Pengajaran Bagi Raja-Raja - klik ini

Kumpulan HIKAYAT nih ada banyak bisa di klik  di sini


Hikayat Hang Tuah


Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak HangMahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orangdi Sungai Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepadasemua rakyatnya.
Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepadaistrinya yang bernama Dang Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu,apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebihmudah mencari pekerjaan.”
Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit.Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah. Hang Mahmudpun terbangun danmengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau sepertiwangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya kepadaistri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsungmemandikan dan melulurkan anaknya.
Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serbaputih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam,ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan untukHang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu.
Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik,
jangan diberi main jauh-jauh.”
Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untukpersediaan. Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orangyang mati dan luka-luka. Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya danmelarikan diri ke kampong. Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauandimana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah,”Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?”
Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan
pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.”
Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju HangTuah samil menghunuskan kerisnya. Maka ibunya berteriak dari atas toko,katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”
Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri danmemegang kapaknya menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datangke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah punMelompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu mengayunkankapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kataseorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanahMelayu ini.”
Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi,
Hang Lekir, dan Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat danHang Kesturi bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontakdengan kapak?”
Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas
dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak untuk kayu.”
Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sangHang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja.Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hatikepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama parabawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalumenyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, adabanyak berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-berita itusudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.”
Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalu
bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?”
Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai sayayang hina tidak berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”
Maka Baginda bertitah, “Hai Tumenggung, katakana saja, kita akan
membalasanya.”
Maka Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat,untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, tuan sangatmenyukainya. Baiklah kalau tuan percaya pada perkataan saya, karena jika tidak,alangkah buruknya nama baik hamba, seolah-olah menjelek-jelekkan orang itu.
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu,
maka Baginda bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”
Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang berani melakukannya selainHang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini pada hamba,hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicaradengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama DangSetia. Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hambadengan dikawal datang untuk mengawasi mereka.”
Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarnamerah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu,“Pergilah, singkirkanlah si durhaka itu!”
Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negri itu, tetapi siTuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi wali Allah.Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana iaduduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu
dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia berkata, “Tidakkah tuan ingin
mempunyai istri?”
Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai istri lagi.”
Demikianlah cerita Hikayat Hang Tuah.

;;